Minggu, 14 Juni 2015

MATERI PEMBELAJARAN ETIKA PROFESI

MATERI

1.      Pengertian Etika Profesi

Bartens (1985) menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat.
Kode etik profesi merupkan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga anggota kelompok profesi tidak akan ketinggalan zaman.
Kode etik profesi merupakan hasil pengaturan diri profesi yang bersangkutan dan ini perwujudan moral yang hakiki, yang tidak dapat dipaksakan dari luar. Kode etik profesi hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri.

2.      Kode Etik Profesi

Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Sehingga pemerintah atau masyarakat tidak perlu campur tangan untuk menentukan bagaimana profesional menjalankan kewajibannya.
Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya lebih efektif lagi apabila norma perilaku itu dirumuskan secara baik, sehingga memuaskan semua pihak.
  1. Fungsi Kode Etik Profesi Mengapa kode etik profesi perlu dirumuskan secara tertulis? Sumaryono (1995) mengemukakan 3 alasannya yaitu : Sebagai sarana kontrol sosial
  2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain
  3. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik . Kelemahan Kode Etik Profesi :
  1. Idealisme terkandung dalam kode etik profesi tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional, sehingga harapan sangat jauh dari kenyataan. Hal ini cukup menggelitik para profesional untuk berpaling kepada nenyataan dan menabaikan idealisme kode etik profesi. Kode etik profesi tidak lebih dari pajangan tulisan berbingkai.
  2. Kode etik profesi merupakan himpunan norma moral yang tidak dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya semata-mata berdasarkan kesadaran profesional. Rupanya kekurangan ini memberi peluang kepada profesional yang lemah iman untuk berbuat menyimpang dari kode etik profesinya.Prinsip dasar di dalam etika profesi :
     Ada beberap[a prinsip etika profesi yaitu :

  1. Prinsip Standar Teknis, profesi dilakukan sesuai keahlian
  2. Prinsip Kompetensi, melaksanakan pekerjaan sesuai jasa profesionalnya, kompetensi dan ketekunan
  3.  Prinsip Tanggungjawab, profesi melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional
  4. Prinsip Kepentingan Publik, menghormati kepentingan public
  5. Prinsip Integritas, menjunjung tinggi nilai tanggung jawab professional
  6. Prinsip Objektivitas, menjaga objektivitas dalam pemenuhan kewajiban
  7.  Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi
  8.  Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan reputasi profesi
A.    Peran Etika dalam Perkembangan IPTEK
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlangsung sangat cepat. Dengan perkembangan tersebut diharapkan akan dapat mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup manusia untuk menjadi manusi secara utuh. Maka tidak cukup dengan mengandalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, manusia juga harus menghayati secara mendalam kode etik ilmu, teknologi dan kehidupan.
Para pakar ilmu kognitif telah menemukan bahwa teknologi mengambil alih fungsi mental manusia, pada saat yang sama terjadi kerugian yang diakibatkan oleh hilangnya fungsi tersebut dari kerja mental manusia. Perubahan yang terjadi pada cara berfikir manusia sebagai akibat perkembangan teknologi sedikit banyak berpengaruh terhadap pelaksanaan dan cara pandang manusia terhadap etika dan norma dalam kehidupannya.
Etika profesi merupakan bagian dari etika sosial yang menyangkut bagaimana mereka harus menjalankan profesinya secara profesional agar diterima oleh masyarakat. Dengan etika profesi diharapkan kaum profesional dapat bekerja sebaik mungkin, serta dapat mempertanggungjawabkan tugas yang dilakukan dari segi tuntutan pekerjaannya.


Senin, 08 Juni 2015

TANGGUNGJAWAB PROFESI DAN KODE ETIK



NAMA : YO'ELI HULU
NIM     : 2012 22 030
JUR      : KOMPUTERISASI AKUNTASI
TGS      : CHARACTER BUIDING
BAB I 
PENDAHULUAN

1. TINJAUAN UMUM ETIKA
Banyak ungkapan, dan tentunya tidak ada yang menyangkal, bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia dikaruniai akal budi, perasaan dan kehendak. Akal adalah untuk berpikir sebagai sumber ilmu dan teknologi. Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan sebagai sumber seni budaya. Adapun kehendak adalah alat untuk menilai mana yang baik dan mana yg buruk. Selain kemampuan yang memilik secara individu, manusia adalah juga makhluk yang terkait dengan lingkungannya. Keterikatan tersebut tampak pada kehidupan manusia sebagai makhluk social dengan dengan perilaku tyang bersifat etis yang dimiliknya. Perilaku etis manusia itulah yang mendasari munculnya etika sebagai sebuah ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang baik dan buruk  dalam kehidupan. Bahkan, etika berkembang tidak sekedar sebagai sebuah ilmu tentang nilai baik dan buruk melainkan sebagai studi tentang kehendak manusia, yaitu kehendak yang berhubungan dengan keputusan tentang yang benar dan yang salah dalam tindak perbuatan.
Secara lebih detail, berikut adalah pembahasan mengenai pengertian etika, kemudian dilanjutkam hubungan etika dengan moral, etika dengan filasafat, dan etika dengan ilmu pengetahuan yang akhirnya yang membawa kita pada suatu pengertian “manusia sebagai makhluk yang beretika”.
1.1    Pengertian Etika
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbita Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988) merumuskan pengertian etika dalam tiga arti sebagai berikut:
1.      Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
2.      Kumpulan aasa atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.      Nilai mengenai benar dan salah yang dianut masyarakat.
Dari asal-usul katanya, etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari kata tersebut akhirnya etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasrkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.
Menurut Profesor Robert Salomon, etika dapat dikelompokan menjadi dua definis yaitu:
  1.  Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang beretika.
  2. Etika merupakan hukum social. Etika merupakan hukum yang mengatur, mengendalikan serta membatasi perilaku manusia.
Pada perkembangan, etika telat menjadi sebuah studi. Fagothey (1953) mengatakan bahwa etika adalah stdui tentang kehendak manusia, yaitu kehendak yang berhubungan dengan keputusan yang benar dan yang salah dalam tindak perbuatannya. Pernyataan tersaebut ditegaskan kembali oleh Sumaryono (1995) yang menyatakan bahwa etika merupakan studi tentang kebeneran dan ketidakbeneran berdasarkan kordat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia dalam perbuatannya.
1.2        Etika, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Hubungan etika, filsafat dan ilmu pengetahuan Filsafat sendiri merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai interpretasi tentang hidup manusia, yang bertugas meneliti dan menentukan semua fakta konkret hingga yang paling mendasar. Ciri ikhlas filsafat adalah upaya menjelaskan pertanyaan selalu menimbulkan pertanyaan baru.
Abdul Kadir (2001) memperinci unsure-unsur penting filsafat sebagai ilmu sebagai berikut:
  1. Kegiatan intelektual,Bahwa filsafat merupakan kegiatan yang memerulakan intelektual atau pemikiran.
  2. Mencari makna yang hakiki, Filsafat memerlukan interpretasi terhadap sesuatu dalam kerangka pencarian makna yang hakiki.
  3. Segala fakta dan gejala Bahwa objek dari kegiatan filsafat adalah fakta dan gejala yang terjadi secara nyata.
  4. Dengan cara refleksi, metodis dan sistematis, Filsafat memerlukan suatau metode dalam kegiatannya serta membutuhkan prosedur-prosedur yang sistematis.
  5. Untuk kebahagiaan manusia, Tujuan akhir filsafat sebagai sebuah ilmu adalah untuk kebahagiaan umat manusia.
Etika merupakan bagian filsafat, yaitu filsafat moral. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk itu antara lain adalah bahwa etika merupakan ilmu yang mempelajari perbuatan baik dan buruk, benar atau salah berdasarkan kordat manusia yang diwujudkan dalam kehendaknya. Sebagai sebuah ilmu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kehendak manusia dalam mengambil keputusan untuk berbuat, yang mendasari hubungan antara sesama manusia. Di samping itu, etika juga merupakan studi tentang perkembangan nilai moral untuk memungkinkan terciptanya kebebasan kehendak karena kesadaran, bukan paksaan. Adapun alasan yang terakhir mengukapkan bahwa etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi yang berupaya menunjukkan nilai-nilai hidup yang baik dan benar menurut manusia.
Dalam konteks etika sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan ini, perlu dilakukan pemisahan antara etika dan moral. Etika adalah ilmu pengetahuan, sedangkan moral adalah objek ilmu pengetahuan tersebut. Dan sebagai ilmu pengetahuan, etika menelaah tujuan hidup manusia, yaitu kebahagian sempurna, kebahagian yang memuaskan manusia, baik jasmani maupun rohani dan dunia sampai akhirat melalui kebeneran-kebeneran yang bersifat filosofis.
1.3   Etika, Moral, dan Norma Kehidupan
Secara etimologis, etika dapat pula disamakan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin “mos” yang berarti juga berarti sebagai adat kebiasaan. Secara etimologis, kata moral sama dengan etika yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorangan atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya di dalamn komunitas kehidupannya. Sebagai contoh jika dikatakan “Kepala Proyek Pengembangan IT di perusahaan ini tidak bermoral…” itu sama artinya dengan Kepala Proyek Pengembangan IT melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam kelompok atau organisasinya.
Hal senada juga disampaikan oleh Lawrence Konhberg (1927-1987), yang menyatakan bahwa etika dekat dengan moral. Lawrence menyatakan bahwa pendidikan moral merupakan integerasi berbagai ilmu seperti psikologi, sosiologi, antarpologi budaya, filsafat, ilmu pendidikan, bahkan ilmu politik. Hal-hal itu yang dijadikan dasr kita pun memaklumi bahwa membangun etika bukanlah pekerjaan yang ringan.
Lawrence Konhberg juga mencatat enam orientasi tahap perkembangan moral yang dekat hubungannya dengan etika. Enam tahap tersebut adalah berikut:
  1.  Orientasi pada hukuman, ganjara, kekuatan fisik dan material.Nilai-nilai yang bersifat kemanusiaan tidak dipersoalkan pada orientasi ini. Orang cenderung takut pada hukuman dibandingkan sekedar menjalankan mana yang baik atau yang buruk.
  2. Orientasi hedonistis hubungan antaramanusiaOrientasi ini melihat bahwa perbuatan bener adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan individu dan atau (kadang-kadang) kebutuhan orang lain. Hubungan antara-manusia dipadang seperti hubungan formal di tempat umum, unsur kewajaran adalah timbal balik. Hal itu terlihat pada adanya anggapan arti seperti “jika anda merugikan saya, saya juga dapat merugikan anda”. Orientasi ini tak mempersoalaan kesetiaan, rassa terima kasih dan keadilan sebagai latar belakang pelaksanaan etika.
  3. Orientasi konformitas.Orientasi ini sering disebut orientasi “anak manis” dimana seseorang cenderung mempertahakan harapan kelompoknya, serta memperoleh persetujuan kelompoknya, sedangkan moral adalah ikatan antarindividu. Tingkah laku konformitas dianggap tingkat laku wajar dan baik.
  4. Orientasi pada otoritas  Pada orientasi ini orang cenderung melihat hokum, kewajiban untuk mempertahankan tata tertib social, religious, dan lain-lain yang dianggapo sebagai nilai-nilai utama dalam kehidupan.
  5.  Orientasi kontrak social.Orientasi ini dilatarbelakangi adanya tekanan pada persamaan derajat dan hak kewajiban timbale balik atas tatanan bersifat demokratis. Kesadaran akan reletivitas nilai dan pendapat pribadi, pengutamaan pada prosedur dan upaya mencapai kesepakatan konstitusional dan demokratis, kemudian diangkat sebagai moralitas remsi kelompok.
  6.  Orientasi moralitas prinsip suara hati, individual, komprehensif, dan universal. Orientasi ini member nilai tertinggi pada hidup manusia, dimana persamaan derajat dan martabat menjadi suatu hal pokok yang dipertimbangkan.
Kemudian, jika dikaji lebih dalam lagi, beberapa ahli membedakan etika dengan moralitas. Menurut Sony Keraf (1991). Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup dengan baik sebagai manusia. Nilai-nilai moral mengandung petuah-petuah, nasihat, wajengan, peraturan, perintah dan lain sebagainya yang terbentuk secara turun-temurun melalui sautu budaya tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup dengan baik agar menjadi manusia benar-benar baik. Adapun etika yang merupakan cabang filsafat tentang nilai dan norma moral, sangat menekankan pendekatkan kritis dalam melihat dan menggumuli norma tersebut. Etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia.
Frans Magnis Suseno (1987), memilik pertanyaan yang sepaham dengan pertanyaan di atas bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran, sedangkan yang member manusia norma tentang bagaimana manusia harus hidup adalah moralitas. Etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma dan ajaran moral tersebut. Sebagai contoh, moralitas langsung mengatakan pada kita “inilah cara Anda melakukan sesuatu…”, sedangkan etika justru akan mempersoalkan “mengapa untuk melakukan sesuatu tersebut harus menggunakan cara itu?”.
Dari berbagai penjelasaan di atas, dapat disimpulkan bahwa etika dan moral dapat digambarkan sebagai dua buah objek yang saling beririsan (intersection). Perhatikan hubungan keduanya seperti diagram venn dibawah ini.
Di satu kondisi, etika berbeda dengan moral. Etika merupakan refleksi kritis dari nilai-nilai moral, sedangkan dalam kondisi berbeda ia bisa sama dengan moral, yaitu nilai-nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku dalam komunitas kehidupannya.
1.4    Pelamggaran Etika dan Kaitannya dengan Hukum
Etika sebagai sebuah nilai yang menjadi pegangan seseorang atau seuatu kelompok dalam mengatur tingkah laku kehidupan kelompok tersbut, tentunya tidak akan terlepas dari tindakan-tindakan tidak etis. Tindakan tidak etis yang dimaksudkan di sini adalah tindakan melanggar etika yang berlaku dalam lingkungan kehidupan tersebut.
Banyak hal yang menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan tidak etis. Jan Hoesada (2002) mencatat beberapa factor yang berperngaruh pada keputusan atau tindakan-tindakan tidak etis dalam sebuah perusahan, antara lain adalah:
a.             Kebutuhan individu
Kebutuhan individu merupakan factor utama penyebab terjadinya tindakan-tindakan tidak etis. Misalnya, seseorang bisa saja melakukan korupsi untuk mencukupikebutuhan-kebutuhan pribadi dalam kehidupannya. Kebutuhan yang tidak terpenuhi tersebut sering kali memancing individu melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis.
b.      Tidak ada pedoman
Tindakan tidak etis bisa saja muncul karena tidak adanya pedoman atau prosedur-prosedur yang baku tentang bagaimana melakukan ssesuatu. Hal itu membuka peluang bagai orang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya merupakan pelanggaran etika dalam komunitasinya.
c.       Perilaku dan kebiasan individu
Tindakan tidak etis juga bisa muncul karena perilaku dan kebiasaan individu, tanpa memperhatikan factor lingkungan dimna individu tersebut berada.
d.      Lingkung tidak etis
Kebiasan tidak etis yang sebelumnya sudah ada dalam suatu lingkungan, dapat memengaruhi orang lain yang berada dalam lingkungan tersebut dalam lingkungan tersebut ubtuk melakukan hal serupa. Lingkungan tidak etis terkait  pada teori psikologi social, di mana anggoata mencari konformita dengan lingkungan dan kepercayaan pada kelompok. Kepercayaan di sini berarti bahwa kelompok memiliki nilai kebeneran yang lebih tinggi. Maksudnya, bila ditemukan perbedaan maka seseorang cenderung memutuskan bahwa dirinya keliru dan kelompoknyalah yang benar.
e.       Perilaku atasan
Atasan yang terbiasa melakukan tindakan tidak etis, dapat memengaruhi orang-orang yang berada dalam lingkup perkerjaan untuk melakukan hal serupa. Hal itu terjadi karena dalam kehidpan social sering kali berlaku pedoman tidak tertulis bahwa apa yang dilakukan atasan akan menjadi contoh bagi anak buahnya.
Selanjutnya, etika juga tidak terlepas dari hukum urutan kebutuhan (needs theory). Menurut kerangka berpikir Maslow, yang paling pokok adalah pemenuh kebutuhan jasmaniah terlebih dahulu agar daoat merasakan urgensi kebutuhan ekstrim dan aktualisasi diri sebagai professional. Pendapat controversial responden Kohlberg menujukkan bahwa menipu, mencuri, berbohong adalah tindakan etis apabila digunakan dalam kerangka untuk melanjutkan hidup. Kendala yang memengaruhi adalah, di satu pihak kode etik tal mempersoalkan urutan kebutuhan dalam penerapannya, namun di lain pihak kebutuhan jasmani tak pernah dapat terpuaskan, dan dapat dikonversikan menjadi bentuk ekstrem lain yang mungkin akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan yang melanggar etika.
Selanjutnya akan dibicarakan sanksi pelanggaran etika. Tindakan pelanggaran terhadap etika seperti beberapa contoh di atas akan menimbulkan beberapa sanksi.
            Pertama adalah sanksi social. Oleh karena etika meruapakan norma-norma sosial yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat maka jika terjadi pelanggaran, sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah sanksi sosial. Sanksi sosial ini bisa saja berupa teguran dari pemuka sosial hingga pengucilan dari kehidupan bermasyarakat.
            Kedua adalah sanksi hokum. Secara umum, hokum mengukur kegiatan-kegiatan etika yang kebetulan selaras dengan aturan dengan aturan hokum. Jika pelanggar etika sudah mengarah kepada pelanggar hokum, seperti misalnya korupsi kolusi dan nepotisme, maka hukumlah yang akan berbicara. Dalam hal ini, hukum pidana menduduki tempat utama karena masalah integritas, obyektivitas dan manfaat bagi masyarakat luas, pemerintahan dan dunia usaha, sedangkan hukum perdata menempati prioritas selanjutnya.
Dalam hukum juga dikenal adanya hukum displin (tuchtrecht) yang merupakan bagian hukum pidana, yang mengatur dan berlaku bagi satu golongan atau profesi yang bergerak dan aktivitas sosial-kemasyarakat yang keputusannya dipatuhi anggota. Hukum displin terbagi dua golongan, yang pertama adalah golongan heirarkis (militer, pegawai negri, dan lain-lain) dan yang kedua adalah golongan non hierarkis (hukum profesi, atau hukum organisas profesi) seperti misalnya accountant disciplinary law. Hukum displin ini pokoknya memliki ciri sanksi yang diberikan tidak terlalu keras, penegakan moral dan edukatif. Pengadilan umu displin dapat dilakukan secara terbuka (anggota lain hadir) atau pintu tertutup, lalu hasilnya diumukan.
            Hubungan etika, hukum dan moral dapat digambarkan seperti pada diagram Venn atas. Gambar tersebut dapat diartikan bahwa pelanggaran etika dan moral bisa saja menyetuh wilayah hukum dan akan mendapatkan sanksi hukum. Namun pada kondisi lain, lain bisa saja pelanggaran etika hanya mendapatkan sanksi sosial dari masyrakat karena pelanggaran tersebut tidak menyetuh wilayah hukum positif yang berlaku.
1.5   Berbagai Macam Etika yang Berkembang di Masyarakat
Jika etika dihubungkan dengan normal, kita akan bebicara tentang nilai dan norma yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dan jika dilihat berdasarkan nilai dan norma yang terkandung di dalamnya, etika dapat dikelompokan ke dalam dua jenis, yaitu deskriptif dan etika normatif.
a.       Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan etika yang berbicara mengenai suatu fakta, yaitu tentang nilai dan pola perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang mebudaya dalam kehidupan masyarakat. Etika ini berusaha menyoroti secara rasional dan kritis tentang apa yang diharapakn manusia dalam hidup ini mengenai sesuatu yang bernilai.
b.         Etika Normatif
Etika normatif merupakan etika yang memberika penilaian serta himbauan kepada manusia tentang bagaimana harus bertindak sesuai norma yang berlaku. Jadi, etika ini berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-seharinya.
Etika normatif berbeda dengan etika deskriptif. Perbedaannya adalah bahwa etika diskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku yang akan dilakukan, sedangkan etika normatif member penilaian sekaligus memberikan norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
            Sony Keraf (1991) mencatat adanya dua macam norma yang berkembang, yaitu norma umum dan norma khusus. Norma umum merupakan norma yang memiliki sifat universal yang dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
  1. Norma sopan santun, yaitu norma yang menyangkut tata cara hidup dalam pergaulan sehari-hari seperti misalnya cara makan yang sopan, menegur orang terlebih dahulu jika bertemu, tata cara bertemu dan sebagainya.
  2. Norma hukum, yaitu norma yang memiliki keberlakuan lebih tegas karena diatur oleh suatu hukum dengan jaminan hukuman bagi pelanggarnya.
  3. Norma moral, merupakan norma yang sering digunakan sebagai tolok ukur masyarakat untuk menentukan baik buruknya seorang sebagai manusia. 
Seperti contoh adalah sikap manusia dalam mejalankan tugas-tugas yang diembannya, sikap menghargai kehidupan manusia serta menampilkan diri sebagai manusia dalam profesi yang dijalaninya.
Adapun norma khusus merupakan aturan yangberlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan dalam lingkup yang lebih sempit seperti misalnya menyangkut aturan mengunjungi pasien disebuah rumah sakit, aturan bermain dalam olahraga dan sebagainya.
            Dari sudut pandang yang lain, kita akan melihat sistematika etika APTIK seperti yang dikutip oleh Sony Keraf, yang membagai struktur etika menjadi diagram seperti Gambar 1.4. dari diagram tersebut, terlihat bahwa secara umum etika terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu etika umum dan etika khusus.
            Etika umum adalah etika tentang kondisi-kondisi dasar dan umum, bagaimana manusia harus bertindak secara etis. Etika ini merupakan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan manusia dalam bertindakan serta tolok ukur dalam menilai baik buruk suatu tindakan.
            Adapun etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan khusus. Penerapan dalam bidang khusus tersebut misalnya bagaimana seseorang bertindak dalam bidang kehidupan tertentu yang dilatarbelakang oleh kondisi yang memungkinkan bagi manusia untuk bertindak secara etis. Hal itu dapat dilihat pada etika untuk melakukan kegiatan olah raga, etika untuk melakukan kegiatan penasaran sebuah produk, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut lagi etika khusus dapat dikelompokan lagi menjadi dua bagian, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika invidivual yang menyangkut kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri serta etika sosial yang menyangkut hubungan individu dengan lingkup kehidupannya. Contoh etika individual adalah etika beragama, bagaimana merawat diri sendiri, menjaga kesehatan dan lain sebagainya. Etika sosial misalnya hubungan manusia dengan keluarga, etika serta sikap terhadap sesama umat manusia, etika dalam organisasi, etika dan sikap terhadap lingkungan hidup dan profesi, merupakan bagian dari etika sosial tersebut.
            Etika profesi merupakan bagian dari etika sosial yang menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya dalam satu lingkup profesi serta bagaimana mereka harus menjalankan profesi diharapkan kaum professional dapat berkeeja sebaik mungkin, serta dapat mepertanggungjawabkan tugas yang dilakukan dari segi tuntutan pekerjaannya. Setiap professional diharapkan bertanggung jawab atas dampak dari tugas yang dilakukannya terhadap lingkungan perkerja, teman seprofesi, buruh, keluarga serta masyarakat luas.
1.6    Etika dan Teknologi: Tantangan Masa Depan
Perkembangan teknologi yang terjadi dalam kehidupan manusia, seperti revousi yang memberikan banyak perubahan pada cara berpikir manusia, baik dalam usaha pemecahan masalah, perencanaan, maupun dalam pengambilan keputusan. Para pakar ilmu kognitif telah menemukan bahwa ketika teknologi mengambil alhi fungsi-fungsi mental manusia, pada saat yang sama terjadi kerugian yang diakibatkan oleh hilangnya fungsi-fungsi tersebut dari kerja mental manussia. Seperti contoh dengan munculnya teknologi computer maka manusia yang seharusnya diuntungkan dengan berfungsinya jejak-jejak memori akibat operasi otak dan mental seperti berpikir, menghitung dan merencanakan sesuatu, pada harusnya akan “kehilangan” jejak tersebut karena sebagai tugasnya sudah “diambil alih” computer. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa di pihak lain, kemudahan yang ditawarkan oleh computer nyata-nyata menimbulkan ketergantungan manusia terhadap teknologi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa teknologi otomasi telah mengedurkan taraf kewaspadaan situasi (situation awareness) pada pilot. Kebiasaan bersandar pada computer membuat fungsi-fungsi mentalnya lambat-lambat laun jadi tidak terasah.
            Perubahan yang terjadi pada cara berpikir manusia sebagai salah satu akibat perkembangan teknologi tersebut, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pelaksanaan dan cara pandang manusia terhadap etika dan norma-norma dalam kehidupannya. Orang yang biasanya saling berinteraksi secara fisik, melakukan komunikasi secara langsung dengan orang lain, karena perkembangan teknologi internet dan email maka interaksi tersebut menjadi berkurang. Mereka cukup duduk di depan computer, menekan beberapa tombol keyboard, mengirim dan menerima email untuk melakukan komunikasi. Mengirimkan laporam ke atas pun cukup melakukan di depan computer. Komunikasi antarateman di dalam satu perusahaan pun lebih suka dilakukan dengan memanfaatkan media chatting daripada harus bertatap muka. Kecenderungan-kecenderungan semacam itulah yang akhirnya membawa perubahan di dalam pelaksanaan etika yang sebelumnya telah disepakati pada suatu komunitas.
            Teknologi sebenarnya hanya alat yang digunakan manusia untuk menjawab tantangan hidup. Jadi, factor manusia dalam teknologi sangat penting, ketika manusia mebiarkan dirinya dikuasai teknologi maka manusia yang lain akan mengalahkannya. Sebenarnya, teknologi dikembangkan untuk membantu manusia dalam melaksanakan aktivitasnya. Hal itu karena manusia memang memilik keterbatasan. Keterbatasan inilah yang lalu harus ditutupi oleh teknologi tersebut. Bagaimana pun, kendali penggunaan teknologi tetap sepenuhnya ada di tangan manusia. Oleh sebab itu, pendidikan manusiawi termasukl pelaksanaan norma dan etika kemanusiaannya tetapa harus berada pada peringkat teratas, serta tidak hanya melakukan pemujaan terhadap teknologi tinggi belaka.
BAB II
PERMASALAHAN

Pada bagian sebelumnya telah dbahas bahwa perkembangan teknologi yang terjadi dalam perkembangan hidup manusia, memberikan banyak perubahan pada cara piker manusia, baik itu dalam usaha pemecahan masalah, perencanaan, mau juga dalam pengambilan keputusan. Perubahan yang terjadi pada cara pikir manusia sebagai salah satu akibat adanya perkembangan teknologi  tersebut, sedikit banyak akaanberpengaruh terhadap pelaksanaan dan cara pandang manusia  terhadap etika dan norma-norma dalam kehidupannya. Selanjutnya pada bagian ini, Anda akan diajak secara lebih khusus mempelajari  etika dibidang computer, mulai dari tinjauan sejarah sampai pembahasan isu-isu pokok dalam penerapannya.
2.1       Sejarah Etika Komputer
Sesuai awal penemuan teknologi koputer di era 1940-an, perkembangan etika computer juga dimulai dari era tersebut dan secara bertahap berkembag menjadi sebuah ilmu disiplin baru  dimasa sekarang ini. Perkembangan tersebut akan berkembang menjadi beberapaha tahap seperti yang akan dibahas berikut ini.
2.1.1    Era 1940-1950-an
Munculnya etika computer sebagai sebuah idang studi dimulai dari pekerjaan profesor Norbert Wiener. selama perang dunia II(pada awal tahun 1940-an) perofesor dari MIT ini membantu mengembangkan suatu meriam antipesawat yang mampu menembak jatuh sebuah pesawat temour yang melintas di atasnya.
            Tantangan universal dari proyek tersebut menyebabkan Wiener dan beberapa rekan kerjanya haru memerhatikan sisi lain ari sebuah perkembangan teknologi,yaitu etika. Pada perkembangannya, penelitian dibidang etika dan teknologi tersebut akhirnya menciptakan suatu bidang riset baru yang disebut cybernetics atau the science of information feedback systems. Konssep cybernetics tersebut dikombinasikan dengan computer digital yang dikembangan pada waktu itu, membuat Wiener akhirnya menarik beberapa kesimpulan etis tentang pemanfaatan teknologi yang sekarang dikenal denag sebutan Teknologi Informasi(TI).
Dalam konsep penelitiannya, Wiener meramalkan terjadinya revolusi social dan konsekuensi etis dari perkembangan teknologi informasi. Di tahun 1948, di dalam bukunya Cybernetics: Control and Communication in the Animal and the Machine, ia mengatakan :
“it has long been to me that the modern urtra-rapid computing machine was in principle an ideal central nervous system to an appararus for automatic control;and that its input and output need not be in the form of numbers of diagrams. It might very well be, respectively,the readings of artificial sense organs. Such as  photoelectric cells or thermometers, and  the performance. Long before Nagasaki and the public awereness of the etomic bomb, it had occurred to me that we were here in the presence of another cosial potentiality of unheard-of importance for good and for evil…”(Bynum ,2001) 
Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Wiener mengkupkapkan bahwa mesin komputer modern pada prinsipnya merupakan system jaringan syaraf yang juga meruapakan piranti kendali otomatis. Dalam pemanfaatan mesin tersebut, manusia akan dihadapkan pada pengaruh social tentang arti penting teknologi tersebut yang ternyata mampu memberikan “kebaikan”, sekaligus “malapetaka”.
Pada tahun 1950, wiener menerbitkan sebuah buku yang monumental, berjudul The Human Use of Human Beings. Walaupun Wiener tidak menggunakan istilah “etika computer” dalam buku tersebut, ia meletakkan suatu fondasi menyeluruh untuk analisa dan riset tentang etika computer. Istilah etika computer sendiri akhirnya umum digunakan lebih dari dua decade kemudian. Buku Wiener ini mencakup beberapa bagian pokok tentang hidup manusia, prinsip-prinsip hokum dan etika di bidang computer. Bagian-bagian pokok dalam buku tersebut adalah sebagai berikut (Bynum, 2001):
1.      Tujuan hidup manusia
2.      Empat Prinsip-prinsip hokum
3.      Metode yang tepat untuk menerapkan etika
4.      Diskusi tentang masalah-masalah pokok dalam etika computer
5.      Contoh topic kunci tentang etika computer
Dasar-dasar etika computer yang diberikan Wiener berada jauh di depan waktunya, dan hampir diabaikan untuk beberapa decade. Dalam pandangannya, pengintegrasian teknologi computer kedalam masyarakat akan segera menimbulkan “revolusi industry yang kedua”.  Dalam revolusi industry tersebut, perubahan dapat terjadi secara radikal. Adalah suatu pekerjaan besar bagi suatu  di dalamnya untuk  memperhatikan keanekaragaman tugas dan tantangan. Para pekerja harus melakukan penyesuian dalam pekerjaannya; pemerintah harus menetapkan peraturan dan hokum baru; bisnis dan indutri harus menciptakan kebijaksanaan baru dalam priktiknya; organisasi profesional harus mengembangkan kode etik yang baru untuk anggota mereka; sarjana sosiologi dan psikologi harus belajar dan memahami gejala social dan psikologis baru;  dan ahli filsafat harus memikirkan kembali konsep-konsep etika yang telah ada, dan banyak hal lain yang harus dipikirkan.
2.1.2    Era 1960-an
Pada pertengahan tahun 1960, Donn Parker dari SRI Internasional Menlo Park California melakukan berbagai riset untuk menguji penggunaan computer  yang tidak sah dan yang tidak sesuai profesionalisme dibidang computer. Waktu itu parker menyampaikan suatu ungkapan yang menjadi titik tolak penelitiannya, yaitu:
that when people entered the computer centre they left their  ethics at the door.”(Fodor and Bynum,1992)
Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa ketika orang-orang masuk pusat computer, merrka meninggalkan etika mereka di ambang pintu. Selanjutnya, Parker melakukan riset dan mengumpulkan berbagai contoh kejahatan computer dan aktivitas lain yang menurutnya tidak pantas dilakukan  para professional computer. Dalam perkembangannya, Ia menerbitkan “Rules of ethics in information processing” atau peraturan tentang etika dalam pengolahan informasi.
            Parker dikenal juga menjadi pelopor kode etik profesi bagi professional di bidang computer, yang ditandai dengan usahanya pada tahun 1968 ketika ditujuk untuk memimpin pengembangan Kode Etik Profesional yang pertama dilakukan untuk association for computing machinery (ACM). Dalam dua decade berikutnya, Parker  melanjutkan penelitiannya dan menghasilkan buku, artikel, sampai pidato-pidato mengenai etika computer. Walaupun pekerjaan Parker belum memjanjikan suatu kerangka teorits umum mengenai etika tersebut,berbagai pemikiran yang telah diberikan tokoh ini menjadi tonggak sejarah etika computer seteleh Wiener.
2.1.3     Era 9170-an
Era ini dimulai ketika sepanjang tahun 1960, Joseph Wiezenbaum, ilmuan computer MIT di Boston menciptakan suatu program computer yang disebut ELIZA. Di dalam eksperimen pertamanya, ELIZA ia ciptakan sebagai tiruan dari “Psychotherapist Rogerin” yang melakukan wawancar pasien yang akan diobatinya.
Wiezenbaum dikejutkan oleh reaksi dari penemuan sederhananya itu, di mana beberapa dokter jiwa melihatnya sebagai bukti bahwa computer akan melakukan ototmatisasi psikoterapi bahkan, sarjana-sarjana computer MIT yang secara emosional terlibat dengan computer berbagai pikiran tentang hal tersebut. Hal itu akhirnya membawa Weazenbaum bahwa suatu gagasan akan munculnya “model pengolahan informasi” tentang manusia yang akan datang dan hubungannya antarara manusia dengan mesin. Buku Wiezenbaum, Computer Power and Human Reason [Wiezenbaum, 1976], menyatakan bahwa gagasan dari hal tersebut. Dari buku tersebut, banyak pemikir terilhami tentang perlunya etika computer.
Perkembangannya etika computer di era 1970-an juga diwarnai dengan karya Walter Maner yang sudah mulai menggunakan istilah “computer ethics” untuk mengacu pada bidang pemeriksaan yang berhadapan dengan permasalahan etis yang diciptakan oleh pemakaian teknologi computer waktu itu. Maner menawarkan suatu kursus eksperimental atas materi pokok tersebut pada Old Dominion University in Virginia. Sepanjang tahun 1970 sampai pertengahan1980, Manr menghasilkan banyak minat pada kursus tentang etika computer setingkat universitas. Tahun 1978,ia juga memublikasikan sendiri karyanya Starter Kit in Computer Ethics, yang berisi material kurikulum dan pedagogi untuk para pengajar universitas dalam pengembangan pendidikan etika computer.
2.1.4    Era 1980-an
Tahun 1980-an, sejumlah konsekuensi social teknologi dan informasi  yang etis menjadi isu public di Amerika dan Eropa. Hal-hal yang sering dbahas adalah computer-enebled crime atau kejahatan computer, masalah-masalah yang disebabkan karena kegagalan sistim computer, invasi keleluasaan pribadi melalui data base computer dan perkaran pengadilan mengenai kepemilikan perangkat lunak. Pekerjaan tokoh-tokoh etika computer sebelumnya seperti Parker,Weizenbaum,Maner dan yang lainnya, akhirnya membawa etika computer sebagai suatu disiplin ilmu baru.
Pertengahan 80-an, James Moor dari Dartmouth college menerbitkan artikel menarik yang bejudul “what is computer ethics ?” sebagai isu khusus pada jurnal metaphilosopy[Moor,1985].
Deborah  Johnson dari  Rensselaer politekhnik institute merbitkan buku teks Computer Ethics [Johnson,1982], sebagai buku teks pertama yang digunakan lebih dari satu decade dalam bidang itu.
2.1.5        Era 1990-an Sampai Sekarang
Sepanjang tahun 1990, berbagai pelatihan baru diuniversitas , pusat riset konfrensi, jurnal , buku teks dan artikel menunjukan suatu keaneka ragaman yang luas tentang topic dibidang etika computer. Sebagai contoh, pemikir Donald Gotterbarn,Keith Miller,Simon Rogerson, dan Dianne Martin  seperti juga banyak organisasi professional computer  yang menangani tanggung jawab social profesi tersebut, seperti electronic  frontier  foundation, ACM-SIGCAS- memipin proyek yang relevan untuk melakukan riset  mengenai tanggung jawab professional dibidang komputasi. Para ahli computer di Inggris, Polandia, Belanda dan Italia menyelenggarakan ETHICOMP sebagai rangkaian konferensi yang dipimpin oleh Simon Rogerson. Terdapat pula konferensi besar tentang etika computer CEPE  yang dipimpin oleh Joeroen van Hoven, serta di Autralia terjadi riset terbesar etika computer yang dipimpin oleh Chris Simpson dan Yohanes Weckert.
Perkembangan yang cukup penting lainnya adalah kepeloporan Simon Rogerson dari De Montfort University (UK), yang mendirikan Centre for Computing and Social Responsibility. Di dalam pandangan Rogerson, ada kebutuhan dalam pertengahan tahun 1990 untuk sebuah “generasi kedua” yaitu tentang pengembangan etika komputer:
The mid-1990s has heralded the beginning of a second generation of computer Ethics. The time has come to build upon and elaborate the conceptual foundation whilst, in parallel, developing the frameworks within which practical action can occur, thus reducing the probability of unforeseen effects of information technology application [Rogerson,Bynum, 1997].
            Berkat jasa dan kontribusi pemikiran yang brilian dari para ilmuwan di bidang ilmu utama pada banyak pusat riset dan perguruan tinggi di dunia yang akan terus dikembangkan mengikuti perkembangan computer itu sendiri
2.1.6    Etika Komputer di Indonesia
Sebagai Negara yang tidak bias dilepaskan dari perkembangan teknologi komputer, Indonesia pun tidak mau ketinggalan dalam mengembangkan etika di bidang tersebut. Mengadopsi pemikir-pemikir di dunia di atas, etika dibidang komputer berkembang menjadi kurikulum wajib yang dilakukan oleh hampir semua perguruan tinggi yang tidak langsung menyebut bidang studinya sebagai etika komputer , tetapi banyak diantara mereka memasukkan etika komputer tersebut pada bidang studi yang relevan. Seperti misalnya UKSW Salatiga melalui Fakultas Teknologi Informasi memasukkan etika komputer pada mata kuliah Etika Profesi bidang TI, dan sebagainnya.
2.2 Beberapa Pandangan dalam Cakupan Etika Komputer
Melihat sejarah perkembangan komputer yang telah dibahas diatas, disiplin ilmu yang dikenal sebagai “etika komputer” praktis belum ada sejak tahun 1940 sampai tahun 1960. Istilah tersebut mulai muncul setelah Walter Maner di tahun 1970, dan beberapa pemikir aktif etika komputer mulai memasukkan dan mendeskripsikan etika komputer sebagai sebuah bidang studi.
Ketika memutuskan untuk menmggunakan istilah “etika komputer” pada pertengahan tahun 70-an, Walter maner menggambarkan bidang tersebut sebagai bidang ilmu yang menguji  “permasalahan etis yang menjengkelkan ,yang diciptakan oleh teknologi komputer”. Maner berpendapat bahwa beberapa permasalahan etis sebelumnya sudah ada, diperburuk oleh munculnya komputer yang menimbulkan permasalahan baru sebagai akibat penerapan teknologi informasi.
Sementara Deboran Johnson (1985) dalam bukunya komputer Ethics, menggambarkan bidang ini sebagai satu studi tentang cara yang ditempuh oleh komputer memiliki standar  moral baru, yang memaksa kita sebagai penggunanya untuk menerapkan norma-norma baru pula di dalam dunia yang “belum dipetakan”.Johnson merekomendasikan etika terapan dengan pendekatan konsep dan prosedur penggunaan dari utitarianisme dan kuantianisme. Namun, berbeda dengan Maner, ia tidak percaya bahwa computer menciptakan permasalahan moral baru secara keseluruhan. Baginya, komputer member sebuah “new twist” ke isu-isu etis sebelumnya yang telah ada.
        James Moor mendefinisikan etika komputer di dalam artikelnya “What Is Computer Ethics” “[Apakah Etika komputer itu?]” yang ditulis pada tahun 1985. Dalam artikel tersebut, Moor mengartikan etika computer sebagai bidang ilmu yang tidak terikat secara khusus dengan teori ahli filsafat mana pun dan kompatibel dengan pendekatan metodologis yang luas pada pemecahan masalah etis. Moore mengungkapkan etika komputer sebagai bidang yang lebih luas. Dibandingkan dengan yang didefinisikan oleh Maner atau Johnson . Moor menggambarkan etika komputer sebagai bidang yang terkait dengan “policy vacuums” and “ conceptual muddles” atau kebijakan ruang hampa dan konseptual yang campur aduk mengenai aspek social dan penggunaan secara etis teknologi informasi:
            A typical problem in computer ethics arises because there is a policy vacumm about how     computer technology should be used. Computers provide us with new capabilities and these in turn give  us new choices for action. Often , either no policies seem inadequate. A central task of computer ethics is to determine what we should do in such cases, that is, formulate policies to guide our actions….One difficulty is that along with a policy vacuum there is often a conceptual vacumm. Although a problem in a computer ethics may seem clear initially, a little reflection reveals a conceptual muddle. What is needed in such case is an analysis that provides a coherent conceptual framework within which to  formulate a policy for action.
(Bynum, 2001).
               Dari kutipan di atas , terlihat bahwa suatu masalah khas dalam etika komputer muncul karena adanya suatu kebijakan yang belum jelas tentang bagaimana teknologi komputer harus digunakan. Komputer melengkapi kita dengan berbagai kemampuan baru dan ini. pada Giliran memberi banyak pilihan baru untuk tindakan yang dapat dilakukan. Satu tugas etika komputer adalah menentukan apa yang perlu kita lakukan didalamya. Dalam kasus ini merumuskan kebijakan untuk memandu tindakan kita. Secara lebih lanjut, Moor mengatakan bahwa tekhnologi komputer itu sebenrnya memiliki sifat revolusioner karena memiliki “logically malleable”;
Komputer are logically malleable in that they can be shaped and molded to do any activity that can be characterized in terms of input, outputs and connecting logical operations…Because logic applies everywhere, the potential applications of komputer is the nearest thing we have to a universal tool. Indeed, the limits of komputers are largely the limits of our own creativity.
Komputer disebut “logically malleable” karena bias melakukan aktivitas apa pun dalam membantu tugas manusia. Hal ini terjadi karena computer bekerja menggunakan suatu logika pemrograman tertentu yang bisa dibuat oleh programernya. Logika pemrograman tersebut terhubung di mana – mana sehingga potensial aplikasi tekhnologi komputer tampak tiada habisnya. Komputer merupakan suatu alat yang universal. Tentu saja batas komputer adalah seberapa besar batas dari kreativitas manusia sendiri.
Menurut Moor, rovolusi komputer sedang terjadi dalam dua langkah. Langkah yang pertam adalah “pengenalan tekhnologi” di mana tekhnologi komputer dapat dikembangkan dan disaring. Ini telah yang terjadi di Amerika sepanjang empat puluh tahun pertama setelah Perang Dunia yang kedua. Langkah yang kedua “penyebaran tekhnologi” di mana tekhnologi mendapatkan integritas ke dalam aktivitas manusia sehari – hari dank e dalam institusi social, mengubah seluruh konsep pokok, seperti uang (money), pendidikan (education), kerja (work) dan pemilihan yang adil (fair elections).

            Cara Moor menggambarkan bidang etika komputer sangat sugestif dan kuat serta berakar di dalam suatu pemahaman tentang bagaimana revolusi teknolgi berproses. Sekarang ini, pengertian yang diberikan Moor adalah salah satu pengertian yang terbaik yang ada menyangkut bidang etika komputer tersebut.
Meskipun demikian, ada beberapa jalan lain untuk memahami etika computer sesuai pendekatan teori yang luas ini. Pendekatan lain dilakukan Wiener (1950) di dalam bukunya The Human Use of  Human Beings, dan juga didiskusikan oleh Moor dalam “hat Is Computer Ethics?” menurut alternatif ini, etika computer mengidentifikasi dan meneliti dampak tekhnolgi informasi terhadap nilai-nilai manusiawi seperti kesehatan, kekayaan, kesempatan, kebebasan, demokrasi, pengetahuan, keleluasaan pribadi, keamanan, pemenuhan diri, dan seterusnya. Ini adalah pandangan etika computer secara lebih luas dalam penerapan etika, sosiologi komputasi, penilaian, teknologi, hokum computer, dan bidang-bidang yang berhubungan dengan itu dan mempekerjakan konsep, metodologi serta teori dari disiplin ilmu ini. Kesuksesan dari pemahaman etika computer ini dicerminkan ketika pemikiran tersebut didiskusikan dalam konferensi utama seperti National Conference on Computing and Values (1991), dan riset-riset lainnya.
            Pada tahun 1990, Donald Gotterban memelopori suatu pendekatan yang berbeda dalam melukiskan cakupan khusus bidang etika computer. Dalam pandangan Gotterban, etika computer harus dipandang sebagai suatu cabang etika professional, yang terkait semata-mata dengan standar kode dan praktik yang dilakukan oleh para professional di bidang komputansi:
“There is little attention paid to the domain of professional ethics – the values that guide the day-to-day activities of computing professionals in their role as professionals. By computing professional 1 mean anyone involved in the design and development of computer artifacts.. The ethical decisions made during the development of these artifacts have a direct relationship to many of the discussed under the broader concept of computer ethics,,,”(Gotterbarn,1991).
Dengan pandangan di atas, pengertian professional-ethics melekat erat dalam etika computer. Dengan kepeloporannya tersebut, Gotterbarn… akhirnya dilibatkan dalam sejumlah aktivitas terkait dengan penelitian di bidang etika computer, seperti co-authoring pada pembuatan ACM Code of Ethics and Profesional Conduct yang ketiga serta menetapkan standar perizinan untuk software engineer.
2.3  Isu – isu Pokok Etika Komputer
Berikut akan dibahas sekilas tentang isu-isu pokok yang berhubungan dengan etika di bidang pemanfaatan teknologi computer
2.3.1  Kejahatan Komputer
Perkembangan teknologi computer yang sedemikian pesat, selain membawa dampak positif bagi umat manusia, disisi lain juga mengundang tangan-tangan criminal untuk beraksi, baik untuk mencari keuntungan materi maupun sekedar iseng. Hal ini memunculkan fenomena khas yang sering disebut computercrime atau kejahatan dunia computer.
            Kejahatan computer dapat diartikan sebagai “Kejahatan yang ditimbulkan karena penggunaan computer secara illegal” (Andi Hamzah, 1989). Selanjutnya, seiring dengan perkembangan pesat teknologi computer, kejahatan bidang ini pun terus meningkat. Berbagai jenis kejahatan computer yang terjadi mulai dari kategori ringan seperti penyebaran virus, spam email, penyadapan transmisi sampai pada kejahatan-kejahatan kategori berat seperti misalnya carding (pencurian melalui internet), DoS (Denial Of Services) atau melakukan serangan yang bertujuan untuk melumpuhkan target sehingga ia tak dapat memberikan layanan lagi, dan sebagainya.
2.3.2    Cyber Ethics
Salah satu perkembangan pesat di bidang computer adalah internet. Internet, akronim dari Interconnection Networking, merupakan suatu jaringan yang menghubungkan computer di seluruh duina tanpa dibatasi oleh jumlah unit menjadi satu jaringan yang bisa saling mengakses. Dengan internet tersebut, satu computer dapat berkomunikasi secara langsung dengan computer lain di berbagai belahan dunia.
            Perkembangan internet memunculkan peluang baru untuk membangun dan memperbaiki pendidikan, bisnis, layanan pemerintahan, dan demokrasi. Namun, permasalahan baru muncul setelah terjadi interaksi yang universal di antara pemakainya. Hartus dipahami bahwa pengguna internet berasal dari berbagai negara yang mungkin saja memiliki budaya, bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda. Di samping itu,  pengguna internet merupakan orang-orang yang hidup dalam dunia anonymous yang tidak memiliki keharusan menunjukkan identitas asli dalam berinteraksi. Hal itu membuat kita tidak saling mengenal dalam arti kata yang sesungguhnya atau bahkan satu penghuni yang lainnya. Sementara itu, munculnya berbagai layanan dan fasilitas yang diberikan dalam internet memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak etis.
            Permasalah-permasalahan tersebut di atas, menurut adanya aturan dan prinsip dalam melakukan komunikasi via internet. Salah satu yang dikembangkan adalah Netiket dan Nettiquette, yang meruapakn salah satu etika acuan dalam berkomunikasi menggunakan internet. Seperti halnya berkomunikasi melalui surat atau bertatap muka, berkomunikasi dengan internet memerlukan tatacara sendiri.
Netiket yang paling sering digunakan mengacu kepada standar netiket yang ditetapakan oleh IETF (The Internet Engineering Task Force). IEFT adalah suatu komunitasi masyarakat internasional yagn terdiri dari para perancang jaringan, operator, penjual dan peneliti yang terkait dengan evolusi arsitektur dan pengoperasian internet. Organisasi ini terbuka bagi individu di mana pun dan siapa pun yang terkait dengan internet. Untuk lebih jelasnya, kita dapat mengujungi situs resmi organisasi ini di www.ietf.org. Dalam kegiatannya, IETF terbagi menjadi kelompok-kelompok kerja yang menangani bebreapa topic seputar internet baik dari sisi teknis maupun no teknis, termasuk di dalamnya menetapkan Netiquette Guidelines yang terdokumentasi dalam Request For Comments (RFC):1855.
2.3.3 E-commerce
Selanjutnya, perkembangan pemakai internet yang sangat pesat juga menghasilkan sebuah model perdagangan elektronik yang disebut Eletronic Commerce (e-commerce). Secara umum dapat dikatakan bahwa e-commerce adalah sistem perdagangan yang menggunakan mekanismme elektronik yang ada jaringan internet. E-commrece merupakan warna biru dalam dunia perdagangan, di mana kegiatan perdagangan tersebut dilakukan secara elektronik dan online. Pembeli tidak harus dating ke took dan memilih barang secara langsung., melainkan cukup melakukan browsing di depan computer untuk melihat daftar barang dagangan secara elektronik. Jika mempunyai keputusan membeli, ia cukup menigis beberapa form yang disediakan, kemudian mengirimkannya secara online. Pembayaran bisa dilakukan dengan kartu kredit atau transfer bank, dan kemudian pulang ke rumah menunggu barang dating.
            Dalam pelaksanaannya, e-commerce menimbulkan beberapa isu menyangkut aspek hukum perdagangan dalam pegunaan sistem yang terbentuk secara on line networking management tersebut. Beberapa permasalahan tersebut antara lain menyangkut prinsip-prinsip yurisdksi dalam transaksi, permasalahan kontrakdalam transaksi elektronik, masalah perlindungan konsumen, masalah pajak (taxation), kasus-kasus permalsuan tanda tangan digital, dan sebagainya.
            Dengan berbagai permasalah yang muncul menyangkut dengan perdagangan via internet tersebut, diperlukan acuan model hukum yang dapat digunakan sebagai standar transaksi. Salah satu acuan internasional yang banyak digunakan adalah Uncitral Model Law on Electronic Commerce 1996.  Acuan yang berisi model hukum dalam transaksi e-commerce tersebut diterbitkan oleh UNCITRAL sebagai salah satu komisi internasional yang berbeda di bawah naungan PBB. Model terbsut telah disetujui oleh General Assembly Ressolution No 51/162 tanggal 16 desember 1996.
2.3.4 Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual
Sebagai teknologi yang berkerja secara digital, computer memiliki sifat keluwesan yang tinggi. Hal itu berarti bahwa jika informasi terbentuk digital maka secara mudah seseorang dapat menyalinnya untuk berbagai dengan orang yang lain. Sifat itu di satu sisi menimbulkan banyak keuntungan, tetapi di sisi lain juga menimbulkan permasalahan, terutama menyangkut hak atas kekayaan intelektual.
Beberapa kasus pelanggaran atas hak kekayaan intelektual tersebut antara lain adalah pembajakan perangakat lunak, softlifting (pemakai liseni melebihi kapasitas penggunaan yang seharusnya), penjualan CDROM illegal atau juga penyewaan perangakat lunak illegal.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat pembajakn perangkat lunak cukup tinggi. Survei yang dilakukan Business Software Alliance (BSA) pada tahun 2001, menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga terjadinya pembajakan terbesar dunia. Dengan peringkat tersebut Indonesia di bawah Vietnam sebagai peringkat pertama dan China sebagai peringkat kedua. Kebanyakan pembajakan di Indonesia adalh pembajakan yang dilakukan oleh end user seperti penggunaan satu lisensi untuk banyak PC, pelanggaran kontrakn lisensi serta pemuatan perangkat lunak bajakan di PC.
2.3.5   Tanggung Jawab Profesi
Seiring perkembangan teknologi pula para professional di bidang computer sudah melakukan spesialisasi bidang pengetahuan dan sering kali mempunyai posisi yang tinggi dan terhormat di kalangan masyarakat. Oleh karena alasan tersebut, mereka memiliki tanggung jawab yang tinggi, mencakup banyak hal dari konsekuensi profesi yang dijalaninya. Para professional menemukan diri mereka dalam dengan pekerjaan, klien dengan professional, professional dengan professional lain, setra masyarakat dengan professional.
Hubungan ini melibatkan suatu keanekaragaman minat, dan kadang-kadang minat dapat masuk kedalam bertentangan satu sama lain. Para professional computer yang terganggung jawab, tentunya sadar dengan konflik kepentingan yang mungkin terjadi dan berusaha untuk menghindarinya.
Organisasi profesi di AS, seperti Association For Computing Machinery (ACM) dan Institute of Electrical dan Electronic Engineers (IEEE), sudah menetapkan kode etik, syarat-syarat pelaku profesi dan garis-garis besar pekerjaan untuk membantu para professional computer dalam memahami dan mengatur tanggung-jawab etis yang harus dipenuhinya.
            Di Indonesia, organisasi profesi di bidang computer yang didirikan sejak tahun 1974 yang bernama IPKIN (Ikatan Profesi Komputer dan Informatika), juga sudah menetapkan kode etik yagn disesuaikan dengan kondisi perkembangan pemakaian teknologi computer di Indonesia. Kode etik profesi tersebut menyangkut kewajiban pelaku profesi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, kewajiban pelaku profesi terhadap masyarakat, kewajiban pelaku profesi terhadap sesame pengemban profesi ilmiah, serta kewajiban pelaku profesi terhadap sesame umat manusia dan lingkungan hidup.
            Munculnya kode etik profesi tersebut tentunya memberikan gambaran adanya tanggung jawab yagn tinggi bagi para pengemban profesi bidang computer untuk menjalankan funsi dan tugasnya sebagai seorang professional dengan baik sesuai garis-garis professional yang ditetapkan.
            Isu-isu pokok di bidang etika computer seperti di atas, yaitu computer crime, cyber ethics, hak atas kekayaan intelektual, perdagangan elektronik seta tanggung jawab profesi akan dibahas lebih mendalam pada setiap bab selanjutnya dari buku ini.
Bahan diskusi
  1. Munculnya etika computer sebagai sebuah bidang studi berawal dari kontribusi besar seorang professor MIT bernama Norbert Wiener dengan pemikiran di ero 1940-an yang jauh menjangkau ke depan. Sebutkan gagasan-gagasan pokok Wiener yagn menjadi fondasi lahirnya di bidang ilmu baru yang disebut etika computer tersebut.
  2. James Moor (1985) mendefinisikan etika computer di dalam artikel “What Is Computer Ethics?” sebagai suatu bidang yagn terkait dengan “play vacuums” dan “conceptual muddles”. Apakah maksud pernyataannya tersebut?
  3. Secara lebih lanjut, James Moor juga mengatakan bahwa teknologi computer itu memiliki sifat “logically malleable”. Apakah maksud sifat tersebut?
  4. Sementara itu, Donald Gotterbarn (1990) memelopori sutu pendekatan yang berbeda dalam melukiskan cakupan khusus bidang etika computer di mana etika computer harus dipadang sebagi suatu cabang etika professional. Apakah maksud pernyataan bahwa etika computer harus dipandang sebagai suatu cabang etika professional tersebut?
  5. Seorang professional di bidang computer memiliki tanggung jawab yang tinggi, mencakup banyak hal dari konsekuensi profesi yang dijalaninya. Menurut anda, bagaimanakah para professional computer harus bersikap dalam hubungan professional dengan orang lain?
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam pergaulan sehari-hari, di masyarakat atau di sekolah, kita  dibatasi oleh aturan etika dan moral. Etika adalah ajaran tentang baik dan buruknya sesuatu. Etika merupakan konsep pembenaran oleh masyarakat terhadap hasil pemikiran manusia,artinya konsep ini merupakan tata nilai yang berkembang dari nilai-nilai kebenaran hasil pemikiran manusia.Moral adalah aspek kejiwaan yang sangat erat berhubungan dengan sikap dan perilaku seseorang.Moral merupakan tindakan manusia yang baik dan sesuai dengan pemikiran yang ada dalam masyarakat(pemikiran umum).Secara prinsip, antara etika dan moral tidak jauh berbeda. Etika menuntun seseorang untuk memahami dasar-dasar ajaran moral,sedangkan moral lebih mengacu pada baik dan buruknya tingkah laku manusia yang dapat menuntunnya,pada cara ia hidup mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.Dengan demikian,orang yang bermoral dan beretika tinggi akan selalu menghargai hak cipta orang lain.
Mengapa manusia harus bekerja? Benarkah hanya untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidupnya? Atau, karena memiliki alasan lain, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hidup? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dilontarkan untuk memahami hakikat manusia sebagai makhluk yang bekerja, bahwa terlepas sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia adalah makhluk pekerja.
Bab ini akan membahas beberapa pokok permasalahan, dimulai dari manusia dan kebutuhannya, kemudian pekerjaan dan profesi, serta profesi dan profesional. Hal itu akan membawa kita pada satu pengertian dan hakikat manusia sebagai makhluk yang bekerja dan hakikat pekerjaan itu sendiri.
3.1    Manusia dan Kebutuhannya
Sebagai makhluk yang istimewa, untuk melengkapi kehidupannya, manusia harus bekerja keras dan bekarya. Karya tersebut dilakukan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam kehidupannya. Bicara tentang kebutuhan manusia, Abdulkadir Muhammad (2001) mengklasifikasikan kebutuhan manusia menjadi empat kelompok sebagai berikut :
a.       Kebutuhan ekonomi.
b.      Kebutuhan psikis.
c.       Kebutuhan biologis.
d.      Kebutuhan pekerjaan.
Kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan yang bersifat material, baik harta maupun benda yang diperlukan untuk kesehatan dan keselamatan hidup manusia. Kebutuhan inin misalnya sandang, pangan dan papan.
Kebutuhan psikis, merupakan kebutuhan yang bersifat non material untuk kesehatan dan ketenangan manusia secara psikologi, biasa juga disebut kebutuhan rohani seperti misalnya agama, pendidikan, hiburan dan lain-lain.
Kebutuhan biologis, merupakan kebutuhan untuk kelangsungan hidup manusia dari generasi ke generasi. Kebutuhan ini sering disebut juga kebutuhan seksual yang diwujudkan dalam perkawinan, membentuk keluarga dan lain sebagainya.
Kebutuhan pekerjaan, merupakan kebutuhan yang bersifat praktis untuk mewujudkan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kebutuhan pekerjaan ini misalnya adalah profesi, perusahaan dan lain sebagainya.
3.2       Pekerjaan dan Profesi
Pada bagian sebelumnya telah dibahas bahwa salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan pekerjaan yang merupakan kebutuhan yang bersifat praktis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain.
            Pada hakikatnya, bekerja adalah kodrat manusia. Agama mengajarkan pada kita bahwa ketika Adam jatuh dalam dosa dan dibuang ke dunia maka saat itu juga manusia dikodratkan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Sejak kecil pun manusia sebenarnya sudah bekerja, meskipun tidak dalam konteks utuk memenuhi kebutuhan ekonomi dalam kehidupannya. Mereka berinteraksi dengan manusia lain dan melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dalam kehidupannya.
            Seiring perkembangan kehidupan manusia, konteks pekerjaan berubah menjadi hal yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Thomas Aquinas seperti dikutip oleh Sumaryono (1995) menyatakan bahwa setiap wujud kerja mempunyai empat macam tujuan, yaitu :
Memenuhi kebutuhan hidup.
  1.  Hasil dari melakukan pekerjaan dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik kebutuhan akan pangan, sandang, papan maupun kebutuhan lain.Mengurangi tingkat pengangguran dan kriminalitas.
  2. Adanya lapangan pekerjaan akan mencegah terjadinya penganguran, yang berarti pula mencegah semakin merebaknya tingkat kejahatan.
  3. Melayani sesama. Manusia dapat berbuat amal dan kebaikan bagi sesamanya dengan kelebihan dari hasil pekerjaan yang dilakukannya. Manusia juga dapat melayani sesama melalui pekerjaan yang dilakukannya.
  4. Mengontrol gaya hidup. Orang dapat mengontrol gaya hidupnya dengan melakukan suatu pekerjaan. Dengan bekerja, orang akan mendapatkan suatu rutinitas kegiatan dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan rutinitas tersebut, tentunya orang akan dapat mengatur, merencanakan dan mengontrol kegiatan apa yang akan dilakukan dalam kehidupannya.
  5. Profesi merupakan bagian dari pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan adalah profesi. Sebagai contoh, pekerjaan staf administrasi tidak masuk dalam golongan profesi karena untuk bekerja sebagai staf administrasi seseorang bisa berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, pengetahuan dan pengalaman, sedangkan akuntan merupakan profesi karena seseorang yang bekerja sebagai akuntan haruslah berpendidikan akuntansi dalam, memiliki pengalaman kerja beberapa tahun dikantor akuntan.
            Profesi adalah suatu bentuk pekerjaan yang mengharuskan pelakunya memiliki pengetahuan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan formal dan keterampilan tertentu yang didapat melalui pengalaman kerja pada orang yang terlebih dahulu menguasai keterlampilan tersebut, dan terus memperbaharui keterampilannya sesuai dengan perkembangan teknologi.
            Bulle seperti dikutip Gilley Dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, di mana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi tiga aspek, yaitu ilmu pengetahuan tertentu, aplikasi kemampuan/kecakapan, dan berkaitan dengan kepentingan umum.
            Dari beberapa uraian mengenai profesi seperti di atas, dapat disimpulkan beberapa catatan tentang profesi sebagai berikut:
  1. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang mengandalkan keterlampilan atau keahlian khusus yang tidak didapatkan pada pekerjaan-pekerjaan umumnya.
  2. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sebagai sumber utama nafkah hidup dan keterlibatan pribadi yang mendalam dalam menekuninya.
  3. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pengemban profesi tersebut untuk terus memperbaharui keterampilannya sesuai perkembangan teknologi.
Kemudian, dari berbagai pengalaman tentang profesi, tercatat dua hal tentang profesi khusus yang dibedakan dari profesi-profesi pada umumnya. Dua kategori yang dianggap sebagai profesi khusus tersebut adalah profesi yang melibatkan hajat hidup orang banyak dan profesi yang merupakan profesi luhur dan menekankan pengabdian.
Catatan pokok dari dua profesi khusus tersebur adalah berikut :
  1. Pada profesi tertentu yang melibatkan hajat hidup orang banyak, gelar keprofesionalan tersebut harus didapatkan melalui pengujian oleh organisasi, dan hanya kandidat yang lulus yang berhak menyandang gelar profesi ini dan melakukan pekerjaan untuk profesi ini. Contoh yang paling jelas adalah profesi dokter (kesehatan manusia) di Indonesia, hanya sarjana kedokteran yang menjadi anggota IDT yang boleh membuka praktik dokter.
  2. Profesi luhur merupakan profesi yang menekankan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Sasaran utama profesi ini adalah mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat,  bukan semata-mata mencari nafkah hidup. Contoh nyata dari profesi ini adalah guru, pendeta, biarawan, biarawati, penasihat hukum, pengacara, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, perlu dipahami bahwa dalam kalian pekerjaan dan prefesi, hakikat pekerjaan menuntut manusia untuk memilih profesi atau keahliannya secara bertanggung jawab sesuai kemampuannya. Untuk itu, sebelum bekerja dan menjalankan profesi, manusia dituntut untuk memilih persiapan yang malang dan sebaik-baiknya.
3.3       Profesi dan Profesional
Bekerjalah dengan cinta...
Jika engkau tidak dapat bekerja dengan cinta, lebih baik engkau
Meninggalkannya.
Dan mengambil tempat di depan pintu gerbang candi-candi,
Meminta sedekah kepada mereka yang bekerja dengan penuh
suka dan cita.. Kahlil Gibran (Sang Nabi)

Kutipan sajak Kahlil Gibran dalam Sang Nabi di samping, mungkin saja merupakan bagian dari sebuah profesionalisme. Orang yang profesional versi Kahlil Gibran adalah orang yang mencintai profesinya. Dengan mencintai profesi, orang akan terpacu untuk terus mengembangkan kemampuan yang mendukung profesi tersebut.
Kembali menilik pada pengartian profesi yang telah di bahas sebelumnya, seorang pelaku profesi haruslah memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
  1. Menguasai ilmu secara mendalam dalam bidangny Di depan sudah dibahas bahwa sebuah profesi akan mengendalikan suatu pengetahuan khusus yang dimiliki oleh sekelompokan profesional agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Seorang yang profesioanl adalah seseorang yang menguasai ilmu secara mendalam di bidangnya, tidak setengah-setengah atau sekedar tahu saja sehingga benar-benar memahami hakekat pekerjaan yang ditekuni.
  2. Mampu mengonversikan ilmu menjadi ketrampilan Seorang yang profesional juga harus mampu mengonversikan ilmunya menjadi suatu ketrampilan, artinya dapat melakukan prektik-praktik atau kegiatan khusus sesuai tugas dan pekerjaannya dengan baik. Orang yang profesional adalah ornag yang tidak sekedar tahu banyak hal tentang sebuah “teori”, tetapi juga mampu mengaplikasikan dalam kegiatan yang dilakukan. Selalu menjunjung tinggi etika dan integritas profesi
  3. Bisanya pada setiap profesi, khususnya profesi luhur atau profesi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, terdapat suatu aturan yang disebut “kode etik” profesi. Sebagaii contoh adalah  kode etik pengacara, kode etik kedokteran, kode etik wartawan dan sebagainya. Kode etik tersebut merupakan aturan main dalam menjalankan sebuah profesi yang harus ditaati oleh semua anggota profesi yang bersangkutan.
Selanjutnya, seorang yang profesional adalah seseorang yang menjalankan profesinya secara benar dan melakukannya menurut etika dan garis-garis profesionalisme yang berlaku  pada profesinya tersebut. Untuk menjadi seorang profesioanl, seseorang yang melakukan pekerjaan dituntut untuk memiliki beberapa sikap sebagai berikut:
  1. Komitmen tinggi. Seorang profesioanl harus mempunyai komitmen yang kuat pada pekerjaan yang sedang dilakukannya.
  2. Tanggung jawab Seorang profesional juga harus bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan yang dilakukannya sendiri.
  3. Berpikir sistematis.Seoarang profesional harus mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukan dan belajar pengalamannya,
  4. Penguasaan materi. Seorang profesional harus menguasai secara mendalam bahan/materi pekerjaan yang sedang dilakukannya.
  5. Menjadi bagian masyarakat profesional.
Seyogyanya seorang profesional harus menjadi bagian dari masyarakat dalam lingkungan profesinya.
Titik penekanan dari profesionalisme adalah penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapan. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen, tetapi lebih merupakan sebuah sikap. Pengembangan profesionalisme pada seorang teknisi bukan hanya meurjuk pada ketrampilan yang tinggi, melainkan juga tingkah laku yang sesuai kriteria.
            Selanjutnya, untuk mengingatkan nilai profesioanlisme suatu profesi serta untuk membentuk suatu standardiasi profesi, biasanya dibentuk organisasi-organisasi profesi. Organisasi profesi ini mengatur keanggotaan, membuat kebijakan etika profesi yang harus diikuti oleh semua anggota, memberi sanksi bagi anggota yang melanggar etika profesi, dan membantu anggota untuk dapat terus memperbaharui pengetahuannya sesuai pekembangan teknologi.
Beberapa organisasi profesi telah berkembang di Indonesia dengan harapan semakin meningkatkan profesionalitas para pelaku profesi tersebut. Caranya dengan memberikan garis-garis atau pedoman profesionalisme. Organisasi profesi ini juga merupakan bagian dari pengembangan sebuah profesi dalam proses profesionalismenya untuk mengembangkan profesi ke arah status profesional yang diakui leh pemerintah dan masyarakat pengguna jasa.
3.4       Mengukur Profesionalisme
Seringkali kata profesionalisme ditambah dengan “isme” yang kemudian menjadi profesionalisme. Kata isme berarti paham. Ini berarti pula bahwa nilai-nilai profesional harus menjadi bagian dari jiwa seseorang yang mengemban sebuah profesi. Selanjutnya, muncul pertanyaan mengenai bagaimana mengukur profesionalisme seseorang?
Sebelum mengukur profesionalisme, harus dipahami terlebih dahulu bahwa profesionalisme diperoleh melalui suatu proses. Proses tersebut dikenal dengan istilah “proses profesional”. Proses Profesional atau profesionalisasi adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistematis untuk mengembangkan profesi ke arah status profesional.
Untuk mengukur sebuah profesionalisme, tentunya perlu diketahui terlebih dahulu standar profesional. Secara teoritis menurut Gilley Dan Eggland (1989),standar profesional dapat diketahui dengan empat perspektif pendekatan, yaitu:
  1.  Pendekatan berorientasi filosofis.
  2. Pendekatan perkembangan bertahap.
  3. Pendekatan berorientasi karakteristik.
  4. d.      Pendekatan berorientasi non-tradisonal.
Selanjutnya, akan dibahas empat perspektif pendekatan tersebut seperti berikut di bawah ini:
3.4.1      Pendekatan Orientasi Filosofi
Pendekatan orientasi filosofi ini melihat tiga hal pokok yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat profesionalisme sebagai berikut:
  1. Pendekatan lambang profesional. Lambang profesional yang dimaksud antara lain seperti sertifikat, lisensi, dan akreditasi. Sertifikat merupakan lambang bagi individu yang profesional dalam bidang tertentu. Misalnya, seseorang yang ahli menjalankan suatu program komputer terentu berhasil melalui ujian lembaga sertifikasi tersebut sehingga akan mendapatkan sertifikat berstandard internasional. Adapun lisensi dan akreditasi merupakan lambang profesional untuk produk ataupun institusi. Sebagai contoh, lembaga pendidikan yang telah dianggap profesional oleh umum adalah lembaga pendidikan yang telah memiliki status terakreditasi, dan lain-lain. Akan tetapi, penggunaan lambang ini kurang diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal.
  2. Pendekatan sikap individu Pendekatan ini melihat bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh umum dan bermanfaat bagi penggunanya. Sikap individu tersebut antara lain adalah kebebasan personal, pelayanan umum, pengembangan sifat individual dan aturan-aturan yang bersifat pribadi. Orang akan melihat bahwa individu yang profesional adalah individu yang memberikan layanan yang memuaskan dan bermanfaat bagi pengguna jasa profesi tersebut.
  3.  Pendekatan electic. Pendekatan ini melihat bahwa proses profesional dianggap sebagai kesatuan dari kemampuan, hasil kesempatan dan standar tetentu. Hal ini berarti bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Pendekatan electic ini merupakan pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistem, dan pemikiran akademis. Dengan kesatuan pendekatan item-item tersebut diatas, masyarakat akan melihat kualitas profesionalisme yang dimiliki oleh seseorang sebagai individu ataupun yang mewakili suatu institusi.
3.4.2    Pendekatan Orientasi Perkembangan
Di bagian depan telah dijelaskan bahwa proses profesionalisme adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistematis untuk mengembangkan profesi kearah status profesional. Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah dalam proses berikut:
  1.  Berkumpulnya individu-individu yang memiliki minat yang sama terhadap suatu profesi.
  2. Langkah ini merupakan awal dari profesional. Orang-orang yang memiliki minat serupa dalam suatu profesi, berkumpul membentuk asosiasi informal yang keanggotaannya masih bersifat sukarela dan belum terorganisir dengan baik.
  3. Melakukan identifikasi dan adopsi terhadap ilmu pengetahuan tertentu untuk mendukung profesi yang dijalaninya. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan latar belakang akademis para pelaku profesi tersebut.
  4. Setelah individu-individu yang memiliki minat yang sama berkumpul, selanjutnya para praktisi akan terorganisasi profesi.
  5. Membuat kesepakatan mengenai persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu. Hal ini sesuai dengan hakikat sebuah profesi, yang mengharuskan pelakunya memiliki pengetahuan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan formal dan atau ketrampilan tertentu yang didapat melalui pengalaman kerja pada orang yang terlebih dahulu menguasai ketrampilan tersebut.
  6. Menentukan kode etik profesi yang menjadi aturan main dalam menjalankan sebuah profesi yang harus ditaati oleh semua anggota profesi yang bersangkutan.
  7. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu seperti syarat akademis dan pengalaman melakukan pekerjaan di lapangan. Hal ini akan berkembang sesuai tuntutan tingkat pelayanan yang diberikan kepada para pengguna jasa profesi tersebut.
3.4.3    Pendekatan Orientasi Karakteristik
Orientasi ini melihat bahwa proses profesional juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan proses profesional yang saling terkait, yaitu:
  1. Kode etik profesi yang merupakan aturan main dalam menjalankan sebuah profesi. Kode etik ini digunakan sebagai aturan langkah bagi seorang profesional akan menjalankan profesinya.
  2. Pengetahuan yang terorganisir yang mendukung pelaksanaan sebuah profesi.
  3.  Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus.
  4. Tingkat pendidikan minimal dan sebuah profesi. Ini penting untuk menjaga mutu profesi yang bersangkutan.
  5. Sertifikat keahlian yang harus dimiliki sebagai salah satu lambang profesional.
  6. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memikul tugas dan tanggung jawab dengan baik. Proses tersebut misalnya adalah riwayat pekerjaan, pendidikan atau ujian yang dilakukan sebelum memangku sebuah profesi.
  7. Adanya kesempatan untuk menyebarluaskan dan bertukar ide di antara anggota.
  8. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktik dan pelanggaran kode etik profesi.
3.4.4    Pendekatan Orientasi Non-Tradisional
Perspektif pendekatan non-tradisional menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan sebuah profesi. Orientasi ini memandang perlunya dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya standardisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan, sertifikasi profesional, dan sebagainya.
            Dengan pendekatan-pendekatan yang dibahas diatas, dapat disimpulakan bahwa mengukur profesionalisme bukanlah hal yang mudah karena profesionalisme tersebut diperoleh melalui suatu proses profesional, yaitu proses evolusi dalam mengembangkan profesi ke arah status profesional yang diharapkan

BAB IV
KODE ETIK DAN TANGGUNG
JAWAB PROVESI
Pada prinsipnya Profesi adalah kata serapan dari sebuah tata dalam bahasa Inggris “Profess”, yang bermakna Janji untuk memenuhi kewajiban melakuakn suatu tugas khusus secara tetap/permanen. Profesi sendiri memiliki arti sebuah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan dan keahlian khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses setrifikasi dan lisensi yangkhususuntukbidangprofesitersebut. Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi, keran profesi memiliki karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya, berikut aadalah karateristik profesi secara umum:
  1. Keterampilan yang berdasarkan pada pengetahuan teoritis : Professional dapat diasumsikan mempunyai pengetahuan teoritis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasarkan pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik
  2. Asosiasi professional : Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
  3. Pendidikan yang ekstensif : Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi
  4. Ujian kompetensi : Sebelum memasuki organisasi professional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoritis.
  5. Pelatihan institusional : Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
  6. Lisensi : Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
  7. Otonomi kerja : Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
  8. Kode etik : Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan. Menurut UU NO. 8 (POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN), Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembahasan ini  ada beberapa bagian tujuan tujuan kode etik yaitu :
  1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
  2.  Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota
  3.  Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
  4. Untuk meningkatkan mutu profesi
  5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
  6. Untuk Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
  7. Untuk Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat
  8.  Untuk Menentukan baku standarnya sendiri.
Mengatur Diri : Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi

Layanan publik dan altruisme : Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat

Status dan imbalan yang tinggi : Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.
Prinsip Etika Profesi
  1. Tanggung jawab Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya DAN Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
  2.  Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
  3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya.
Profesionalisme Dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, karangan J.S. Badudu (2003), definisi profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti: bersifat profesi, memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan, beroleh bayarankarenakeahliannya itu.Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme memiliki dua criteria pokok, yaitu keahlian dan pendapatan (bayaran). Kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Artinya seseorang dapat dikatakan memiliki profesionalisme manakala memiliki dua hal pokok tersebut, yaitu keahlian (kompetensi) yang layak sesuai bidang tugasnya dan pendapatan yang layak sesuai kebutuhanhidupnya.
Ciri-ciriprofesionalismedibidangTI:
  1. mempunyai keterampilan yang tinggi dalam bidang IT dalam menggunakan peralatan-peralatan dalam melaksanakan tugasnya dibidang IT
  2. mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam dalam bidang IT dalam manganalisis suatu masalah dan peka didalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan.
  3. punya sikap orientasi kedepan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan IT yang terbentang dihadapannya.
  4. punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain , namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya terutama didalam bidang IT.
A.    Pengertian Tanggungjawab
Tanggungjawab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga tanggungjawab dapat dipahami sebagai kewajiban menanggung, memikul jawab, dan menanggung segala sesuatunya. Bertanggungjawab berarti dapat menjawab bila ditanya tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertaggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab melainkan juga harus menjawab. Dalam pengertian kamus Bahasa Inggris, tanggung jawab itu diterjemahkan dengan kata: “Responsibility = having the character of a free moral agent; capable of determining one’s own acts; capable of deterred by consideration of sanction or consequences”. Definisi ini memberikan pengertian yang dititiberatkan pada:
  1. harus ada kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap sesuatu perbuatan.
  2. harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan.
B. Unsur-unsurTanggungjawab
Dari segi filsafat, suatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh tiga unsur pokok, yaitu : kesadaran, kecintaan/kesukaan, dan keberanian.
1.      Kesadaran

Sadar berisi pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari sesuatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Seseorang baru dapat diminta tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang diperbuatnya.
Dengan dasar pengertian ini kiranya dapat dimengerti, apa sebab ketiga golongan (si bocah, si kerbau, dan si gila ) adalah tidak wajar bila diminta atau dituntut supaya bertanggung jawab sebab, baik kepada si bocah, si kerbau, dan si gila, kesemua mereka ini, bertindak tanpa adanya kesadaran, artinya mereka sama sekali tidak mengerti, akan guna dan akibat dari perbuatannya.
2.      Kecintaan/Kesukaan
Cinta, suka menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan, dan kesediaan berkorban. Cinta pada tanah air menyebabkan prajurit-prajurit kita rela menyabung nyawa untuk mempertahankan tanah air tercinta. Sadar akan arti tanggungjawablah, menyebabkan mereka patuh berdiri di bawah terik matahari atau hujan lebat untuk mengawal, dilihat atau tidak diawasi.
3.      Keberanian
Berani berbuat, berani bertanggungjawab. Berani disini didorong oleh rasa keikhlasan, tidak bersikap ragu-ragu dan takut terhadap segala macam rintangan yang timbul kemudian sebagai konsekueansi dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka seseorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan pertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi tidak sembrono atau membabi buta. Keberanian seorang prajurit adalah keberanian yang dilandasi oleh rasa kesadaran, adanya rasa cinta kepada tanah air, dimana ketiga unsur kejiwaan tersebut tersimpul ke dalam satu sikap: “Keikhlasan dalam mengabdi, dan dengan penuh rasa tanggung jawab“, dalam menunaikan tugas dan darma bakti kepada negara dan bangsa.
C.    Jenis-jenisTanggungjawab
  1. Tanggungjawab Dilihat dari Sifatnya Tanggungjawab itu bisa langsung atau tidak langsung Tanggung jawab bersifat langsung, bila si pelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Biasanya akan terjadi demikian. Tetapi kadang-kadang orang bertanggung jawab secara tidak langsung . contohnya, kalau anjing saya merusakkan barang milik orang lain, bukanlah anjing yang bertanggung jawab (sebab seekor anjing bukan makhluk bebas), melainkan saya sebagai pemiliknya. Sekurang-kurangnya bila kejadian itu berlangsung di tempat umum. Jadi, di sini saya bertanggung jawab secara tidak langsung. Sebab saya harus mengawasi gerak-gerik anjing saya di tempat umum. Tapi kalau seandainya orang masuk halaman rumah saya tanpa izin dengan maksud mencuri atau maksud apapun juga dan digigit oleh anjing saya, maka saya tidak bertanggung jawab, karena orang itu tidak berhak masuk halaman rumah tanpa seizin tuan rumah. Demikian halnya juga dengan anak kecil, bila anak kecil melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, orang tua atau walinya bertanggung jawab atas kejadian itu, karena anak itu sendiri belum bisa dianggap pelaku bebas. Secara tidak langsung orang tua atau walinya bertanggungjawab, sebab mereka harus mengawasi anaknya.
  2. Tanggungjawab Dilihat dari Subyeknya Tanggungjawab bila dilihat dari segi subyeknya terbagi menjadi dua bagian, yaitu: tanggungjawab pribadi atau perorangan, artinya, tanggungjawab seseorang atas perbuatannya. DAN Tanggungjawab kolektif atau kelompok Tetapi, jenis tanggungjawab ini dalam etika sering kali diajukan pertanyaan apakah ada tanggungjawab kolektif atau kelompok.
Pertanyaan ini dijawab dengan cara berbeda-beda. Beberapa etikawan menerima kemungkinan tanggung jawab kolektif, tapi lebih banyak menolaknya. Kadang-kadang kita mendapat kesan bahwa memang ada tanggung jawab kolektif. Tanggung jawab tidak dimaksudkan penjumlahan tanggung jawab beberapa individu. Bukan maksudnya bahwa orang A bertanggung jawab di samping orang B, C, dan D. sebab, tanggung jawab seperti itu hanya merupakan struktur lebih kompleks dari tanggung jawab pribadi dan tidak menimbulkan kesulitan khusus. Juga tidak dimaksudkan bahwa dalam suatu kelompok beberapa orang bertanggung jawab untuk sebagian, seperti misalnya dalam sebuah geng penjahat ada yang merencanakan, ada yang membantu dan ada yang melaksanakan tindak kejahatan. Juga tidak dimaksudkan bahwa banyak tindakan pribadi kita mempunyai dampak sosial. Hal itu tidak mengherankan, sebab akibat kodrat social manusia perbuatan – perbuatan pribadi kita dengan banyak cara terjalin dengan kepentingan orang lain, bahkan dengan masyarakat sebagai keseluruhan. Yang dimaksudkan dengan tanggung jawab kolektif ialah bahwa orang A, B, C, dan D dan seterusnya, secara pribadi tidak bertanggung jawab, sedangkan mereka semua bertanggung jawab sebagai kelompok atau keseluruhan. Tanggungjawab Dilihat dari Obyek dan Relasinya Selain jenis tanggungjawab di atas, ada juga tanggungjawab yang dilihat dari obyeknya dan relasi manusia yang komponen yang lainnya.
Manusia itu berjuang memenuhi keperluannya sendiri atau untuk keperluan pihak lain. Untuk itu dia mengahadapi manusia dalam masyarakat atau menghadapi lingkungan alam. Dalam usahanya itu manusia juaga menyadari bahwa ada kekuatan lain yang ikut menentukan yaitu kekuasaan Tuhan. Atas dasar itu, lalu dikenal beberapa jenis tanggung jawab, yaitu: tanggungjawab terhadap diri sendiri, tanggungjawab terhadap keluarga, tanggungjawab terhadap masyarakat, tanggungjawab terhadap bangsa dan Negara, dan tanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  1. Tanggungjawab terhadap Diri Sendiri Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusaia pribadi. Dengan demikian bisa memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendri. Menurut sifat dasarnya anusia adalah makhluk bermoral, tetapi manusia juga seorang pribadi. Karena merupakan seorang pribadi maka manusia mepunyai pendapat sendiri, perasan sendiri, angan-angan sendiri. Sebagai perwujudan dari pendapat, perasaan,dan angan-angan itu manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan kekeliruan, baik yang disengaja maupun tidak.
  2. Tanggungjawab terhadap Keluarga Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari suam-istri, ayah-ibu, dan anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tanggungjawab ini menyangkut nama baik keluarga. Dan tanggungjawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan.
  3. Tanggungjawab terhadap Masyarakat Pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
  4. Tanggungjawab terhadap Bangsa/Negara Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap mausia, tiap individu adalah warga Negara suatu Negara. Dalam berfikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara.
  5. Tanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha EsaTuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia bertanggung jawab langsung terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama. Pelanggaran dari hukuman-hukuman tersebut akan segera diperintahkan oleh Tuhan dan jika dengan peringatan yang keras pun manusia masih juga tidak menghiraukan maka Tuhan akan melakukan kutukan. Sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan tanggungjawab yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan sebagai penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggungjawabnya, manusia perlu pengorbanan.
  6. Tanggungjawab Retrospektif dan Prospektif Bila dilihat berdasarkan proses kejadiannya, maka terdapat dua macam tanggungjawab, yaitu tangung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospektif.
  • Tanggungjawab Retrospektif Tanggungjawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya. Bila seorang apoteker telah memberi obat yang salah karena kurang teliti membaca resep dokter, maka ia bertanggung jawab. Bila kemudian ketahuan, ia harus memperbaiki perbuatannya itu dengan memberi obat yang betul. Dan seandainya kekeliruannya ternyata mempunyai akibat negative, seperti misalnya penyakit pasien bertambah parah, ia harus memberi ganti rugi seperlunya. Contoh tentang tanggung jawab prospektif ialah bahwa pagi hari ketika membuka apoteknya si apoteker bertanggung jawab atas semua obat yang akan dijual hari itu
  • Tanggung Jawab Prospektif Tanggung jawab prospektif ialah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang .Dalam hidup sehari-hari kita lebih banyak mengalami tanggung retrospektif, karena biasanya tanggung jawab baru dirasakan betul-betul, bila kita berhadapan dengan konsekuensinya. Di sini pun kiasan “harus bertanggung jawab” tampak dengan paling jelas. Sebelum perbuatan dilakukan, pelaku bersangkutan sudah bertanggung jawab (dalam arti prospektif), tapi saat itu tanggung jawabnya masih terpendam dalam hatinya dan belum berhadapan dengan orang lain. Baik tanggung jawab retrospektif maupun untuk tanggung jawab prospektif berlaku bahwa tidak ada tanggung jawab, jika tidak ada kebebasan. Tingkat-tingkat Tanggungjawab Suatu tanggungjawab berdasarkan kebebasan yang dimilikinya, kalau tidak ada kebebasan, tidak ada tanggung jawab juga. Tapi karena kebebasan bisa kurang atau lebih, demikian juga tanggung jawab ada tingkat-tingkatnya. Tentang perbuatan sejenis yang dilakukan oleh beberapa orang, bisa saja bahwa satu orang lebih bertanggung jawab dari pada orang lain. Di sini akan diberikan beberapa contoh tentang perbuatan yang kira-kira sama jenisnya tetapi berbeda bentuk tanggungjawabnya, yaitu.
  1. Anto mencuri, tetapi dia tidak tahu bahwa ia mencuri.
  2. Tono mencuri, karena dia seorang kleptoman.
  3. Didin mencuri, karena dalam hal ini dia disangka ia boleh mencuri.
  4. Gogon mencuri, karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya.
  5. Agus mencuri, karena dia tidak bisa mengendalikakn nafsunya. Tentang
Anto mengambil tas milik orang lain berisikan uang satu juta rupiah, karena dia berpikir tas itu adalah tasnya sendiri. Maklumlah, warna dan bentuknya persis sama dengan tas yang juga miliknya. Ketika sampai di rumah dan membuka tasnya, barulah ia menyadari bahwa tas itu ternyata milik orang lain. Dia tidak bebas dan tidak bertanggung jawab dalam melakukan perbuatan “pencurian” itu, karena dia tidak tahu bahwa ia mencuri (bahwa tas itu milik orang lain). Dipandang dari luar, Anto memang mencuri (mengambil milik orang lain tanpa izin), tapi ia tidak tahu bahwa ia “mencuri”. Perbuatan itu tidak dilakukakn dengan sengaja. Karena itu perbutannya sebaiknya tidak disebut “pencurian”.
Tono juga mengambil tas berisikan uang milik orang lain, tapi dia menderita kelainan jiwa yang disebut “kleptoman”, yaitu dia mengalami paksaan batin untuk mencuri. Di sini tidak ada kebebasan psikologis, seperti sudah kita lihat sebelumnya, dan akibatnya dia tidak bertanggung jawab. Tapi dia perlu ditekankan lagi: supaya Tono tidak bebas dan tidak bertanggung jawab, haruslah perbuatannya sungguh-sungguuh berasal dari kleptoman.
Didin juga mengambil uang milik orang lain. Ia membuatnya dengan bebas, tapi dalam arti tertentu ia membuatnya terpasa juga. Didin ini seorang duda yang mempunyai lima anak yang masih kecil. Mereka sudah beberapa hari tidak dapat makan, karena uangnya habis sama sekali. Ia sudah menempuh segala cara yang dapat dipikirkan untuk memperoleh makanan yang dibutuhkan. Mengemis pun ia coba.tapi sampai sekarang ia gagal terus pada suatu ketika kebetulan ia mendapat kesempatan emas untuk mencuri tas berisikan uang. Kesempatan ini tidak disia-siakan. Uang yang dicuri itu cukup untuk membeli makanan selama beberapa bulan. Ibu Didin berpendapat bahwa dalam hal ini ia boleh mencuri Ia mengahadapi konflik kewajiban. Di satu pihak ia wajib menghormati milik orang lain dan karena itu ia tidak boleh mencuri. Di lain pihak sebagai seorang bapak ia wajib memperjuangkan keselamatan anaknya. Ibu Didin berpendapat bahwa kewajiban kedua harus diberi prioritas dan akibatnya dalam kasus ini ia boleh mencuri. Perlu diperhatikan bahwa perbuatannya dilakukan secara bebas dan karena itu ia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Tapi dipandang dari sudut etika, dalam kasus ini ia tidak bersalah.
Karena perawakannya pendek, Gogon dipaksa oleh majikannya untuk masuk kamar seseorang melalui lobang kisi-kisi di atas pintu, guna mengambil tas berisikan uang terdapat si situ. Kalau ia menolak, ia akan disiksa dan barangkali dibunuh. Gogon tidak melihat jalan lain daripada menuruti perintah majikannya. Ia membuatnya terpaksa, sebab sebenarnya ia tidak mau. Namun ia juga tidak ingin tertimpa ancaman majikannya. Dalam kasus ini terrnyata Gogon tidak bebas (dalam arti kebebasan moral) dank arena itu ia juga tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Agus mencuri uang satu juta rupiah yang boleh pemiliknya disimpan dalam sebuah tas. Pada ketika dapat dipastikan tidak ada orang yang melihat, ia mengambil tas itu dan langsung kabur. Si Agus sudah lama mencita-citakan akan mempunyai pesawat televisi berwarna. Tapi sampai sekarang uangnya tidak cukup. Karena pemilik tas itu lengah sesaat, ia bisa mewujudkan cita-citanya. Mulai hari itu ia sekeluarga dapat menikmati siaran televisi berwarna. Jadi, Agus tidak mencuri untuk merugikan pemilik uang itu. Maksudnya tentu tidak mencelakakan orang itu. Ia malah tidak tahu bahwa orang itu pedagang kecil yang dalam tas membawa hampir seluruh modalnya yang baru saja diambil dari Bank. Agus hanya didorong oleh nafsunya mau memiliki pesawat televisi berwarna, sebagaimana sudah lama dimiliki oleh tetangga dan kenalan lain. Dengan mencuri uang itu Agus bertindak bebas dan karena itu ia bertanggung jawab.

Syarat bagi Tanggung Jawab Moral dalam Etika Profesi

Dalam membahas prinsip-prinsip etika profesi dan prinsip-prinsip etika bisnis. Kita telah menyinggung tanggung jawab sebagai salah satu prinsip etika yang penting. Persoalan pelik yang harus dijawab pada tempat pertama adalah manakah kondisi bagi adanya tanggung jawab moral. Manakah kondisi yang relevan yang memungkinkan kita menuntut agar seseoarang bertanggung jawab atas tindakannya. Ini sangat penting, karena tidak sering kita menemukan orang yang mengatakan bahwa tindakan itu bukan tanggung jawabku. Atau, kita pun sering mengatakan bahwa suatu tindakan sudah berada di luar tanggung jawab seseorang. Lalu, manakah batas, manakah kondisi atau syarat sah bagi tanggung jawab moral ini? Paling kurang ada tiga syarat penting bagi tanggung jawab moral. Pertama, tanggung jawab mengandaikan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan sadar dan tahu. Tanggung jawab hanya bisa dituntut dari seseorang kalau ia bertindak dengan sadar dan tahu mengenai tindakannya itu serta konsekuensi dari tindakannya. Hanya kalau seseorang bertindak dengan sadar dan tahu, baru relevan bagi kita untuk menuntut tanggung jawab dan pertanggungjawaban moral atas tindakakannya itu. Dengan demikian, syarat pertama bagi tanggung jawab atas suatu tindakan adalah bahwa tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional. Pribadi yang kemanapun akal budinya sudah matang dan dapat berfungsi secara normal. Pribadi itu paham betul akan apa yang dilakukannya.
Kedua, tanggung jawab mengandaikan adanya kebebasan pada tempat pertama. Artinya, tanggung jawab hanya mungkin relevan dan dituntut dari seseorang atas tindakannya, kalau tindakannya itu dilakukannya secara bebas. Ini berarti orang tersebut melakukan tindakan itu bukan dalam keadaan terpaksa atau dipaksa. Ia sendiri secara bebas dan suka rela melakukan tindakan itu. Jadi, kalau seseorang terpaksa atau dipaksa melakukan suatu tindakan, secara moral ia dituntut bertanggung jawab atas tindakan itu. Karena itu, tidak relevan bagi kita untuk menuntut pertanggungjawaban moral atas tindakannya itu. Tindakan tersebut berada di luar tanggung jawabnya. Hanya orang yang bebas dalam melakukan sesuatu bisa bertanggung jawab atas tindakaknya.

Ketiga, tanggung jawab mensyaratkan bahwa orang yng melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu. Ia sendiri mau dan bersedia melakukan tindakan itu. Syarat ini terutama relevan dalam kaitan dengan syarat kedua di atas. Bisa saja seseorang berada dalam situasi tertentu sedemikian rupa seakan-akan ia terpaksa melakukan suatu tindakan. Situasi ini terutama terjadi ketika seseorang dihadapkan hanya pada satu pulihan. Hanya ada satu alternative. Terlihat seakan-akan di hanya bisa memilih alternative itu. Lain tidak, bahkan dia tidak bisa memilih alternative tersebut. Dalam keadaan seperti itu, tampak seolah-olah orang ini memang terpaksa. Itu berarti menurut syarat kedua di atas, dia tidak bisa bertanggung jawab atas pilihannya karena tidak bisa lain. Karena itu, tidak relevan untuk menuntut pertanggungjawaban dari orang itu. Akan tetapi, kalaupun orang tersebut berada dalam situasi seperti itu, di mana di tidak bisa berbuat lain dari memilih alternative yang hanya satu itu, ia masu\ih tetap bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Ia masih tetapbertanggung jawab atas tindakannya kalau dalam situasi seperti itu ia sendiri mau (apalagi dengan sadar dan bebas ) memilih alternative yang hanya satu itu dan tidak bisa dielak itu.

Sehubungan dengan tanggung jawab moral, berlakku prinsip yang disebut the principle of alternate possibilities. Menurut prinsip ini, seseorang bertanggung jawab secara moral atas tindakannya yang telah dilakukannya hanya kalau ia bisa bertindak secara lain. Artinya, hanya kalau masih ada alternative baginya untuk bertindak secara lain, yang tidak lain berarti ia tidak dalam keadaan terpaksa melakukan tindakan itu.
Menurut Harry Frankfurt, prinsip ini tidak sepenuhnya benar. Sebabnya, seeseoarang masih bisa tetap bertanggung jawab atas tindakannya kalaupun ia tidak punya kemungkinan lain untu bertindak secara lain. Artinya, kalaupun tindakan itu dilakukan di bawah ancaman sekalipun, misalnya, tapi kalau ia sendiri memang mau melakukan tindakan itu, ia tetap bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan kata lain, prinsip bahwa seseorang hanya bisa bertangguung jawab secara moral atas tindakan yang telah dilakukannya kalau ada kemungkinan baginya untuk bertindak secara lain, tidak sepenuhnya benar. Menurut Frankfurt, prinsipyang benar adalah bahwa seseorang tidak bertanggung jawab secara moral atas tindakan yang telah dilakukannya kalau ia melakukannya hanya karena ia tidak bisa bertindak secara lain. Artinya, tidak ada alasan lain kecuali bahwa memang ia terpaksa melakukan itu, dan tidak ada alasan lain selain terpaksa. Namun, selama ia sendiri mau (berarti alasan dari tindakannya adalah kemauannya sendiri dan bukan keadaan terpaksa tersebut), ia tetap bertanggung jawab kendati situasinya seolah-olah ia terpaksa (tidak ada alternative lain).

BAB V
KESIMPULAN

            Etika merupakan pengetahuan tentang baik dan buruk maupun tentang hak-hak dan kewajiban moral (akhlak) yang harus disandang oleh seseorang maupun sekelompok orang. Sedangkan moral adalah ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum atau atau yang menyangkut akhlak, budi pekerti, dan susila. Pemerintah Indonesia mengatur beberapa hal yang menyangkut teknologi informasi dan komunikasi, khususnya mengenai hak cipta perangkat lunak komputer. Hal tersebut dimasukan ke dalam Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC) atau lebih dikenal dengan Undang-undang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual).  Akan tetapi dalam penggunaannya tetap harus memperhatikan beberapa etika, karena menggunakan TIK pada dasarnya adalah kita berhubungan dengan orang lain dan berhubungan dengan orang lain membutuhkan kode etik tertentu.
Berikut beberapa etika yang harus diperhatikan dalam penggunaan TIK.
  1. Menggunakan fasilitas TIK untuk melakukan hal yang bermanfaat
  2.  Tidak memasuki sistem informasi orang lain secara illegal.
  3. Tidak memberikan user ID dan password kepada orang lain untukmasuk ke dalam sebuah sistem. Tidak diperkenankan pula untuk menggunakan user ID orang lain untuk masuk ke sebuah sistem.
  4. Tidak mengganggu dan atau merusak sistem informasi orang lain dengan cara apa pun.
  5. Menggunakan alat pendukung TIK dengan bijaksana dan merawatnya dengan baik.
  6. Tidak menggunakan TIK dalam melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
  7. Menjunjung tinggi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Misalnya, pencantuman url website yang menjadi referensi tulisan kita baik dimedia cetak atau elektronik
  8. Tetap bersikap sopan dan santun walaupun tidak bertatap muka secara langsung.
  1. Kode etik yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja.
  2. Dari contoh kasus sebelumnya dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang teknisi computer harus berhati-hati dalam menjalankan pekerjaannya. Ia harus memiliki softskill dan hardskill dalam standarisasi profesinya. Karena sesuatu yang kecil, yakni tidak sengaja memindahkan file yang tidak seharusnya di pindahkan , bisa menjadi masalah yang besar dan berhubungan dengan hukum karena melanggar UU ITE.
1.2     SARAN

Seorang Profesi seharusnya mendalamkan sebuah arti etika dan tanggunggjawab dan softskil  standarisasi profesinya. Karena sesuatu yang kecil, yakni tidak sengaja akan merusak yang besar yang tidak seharusnya di lakukan , bisa menjadi masalah yang besar dan berhubungan dengan hukum karena melanggar UU kode etik. Dan menjelaskan bahwa etika profesi sebagai seorang profesionalitas yang handal serta memperhatikan sebuah kode eti dan tanggungjawab yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARAHaryanto, Edy. (2008). Teknologi Informasi dan Komunikasi: Konsep dan
Perkembangannya. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Sebagai Media Pembelajaran
Drs. Supriyono.2005.Teknologi Informasi dan Komunikasi.Jakarta:Yudhistira
Agus Budiono dkk, 2007. Teknologi Informasi dan Komunikasi.  Jakarta: PTDian Rakyat